Pesatnya arus globalisasi dan berkembangnya era society 5.0 membuat teknologi terus mengalami kemajuan. Hal ini menyebabkan manusia harus bisa beradaptasi dengan segala perubahan yang terjadi. Kemajuan teknologi memberikan sejuta kemudahan bagi penggunanya. Perangkat elektronik yang canggih membuat dunia seakan tanpa batas sehingga berbagai aktivitas semakin fleksibel dan dapat dilakukan tanpa terhalang tempat dan waktu.
Penyebaran informasi pun kini semakin mudah, berita terkini dapat diakses melalui berbagai media digital via situs web maupun aplikasi. Membaca berita di gawai tentunya lebih praktis daripada membaca koran. Selain situs resmi pers, saat ini banyak sekali akun media sosial yang membagikan berita, seperti di Instagram contohnya, hampir setiap kabupaten/kota memiliki akun yang membagikan info terbaru yang terjadi di wilayah tersebut.
Digitalisasi media informasi membuat masyarakat semakin mudah mendapatkan informasi yang bermanfaat. Namun, bagaimana dengan hoaks? Bukankah semakin mudah tersebar juga? Benar sekali. Tidak semua media membagikan berita aktual dan dapat dipercaya, terutama berita yang diposting di akun tidak resmi. Tersebarnya hoaks dengan mudah merupakan salah satu dampak negatif digitalisasi. Hal ini disebabkan karena kurangnya edukasi baik dari pembuat informasi, pembaca informasi, dan penerus informasi. Pembaca harus cerdas dalam menyaring berita dan informasi yang ada, terutama jika informasi tersebut akan diteruskan atau dibagikan ke pihak lain, tentu terlebih dahulu harus dipastikan kebenarannya. Namun, di sisi lain, penulis juga harus membuat berita dengan kalimat yang jelas dan tidak ambigu agar tidak menimbulkan pemahaman berbeda dari perspektif pembaca. Informasi tidak benar atau hoaks ini juga selaras dengan web https://kominfo.go.id/ yang memberitahukan bahwa banyak sekali berita hoaks yang beredar di media massa.
Di era ini, semua orang bisa menulis berita dan kemudian membagikannya kepada khalayak umum melalui media sosial, tetapi tidak semua orang mampu membuat berita yang baik dan sesuai dengan kode etik jurnalistik. Sebagian orang mungkin memang sungguh menulis dengan tujuan memberikan informasi yang bermanfaat, namun sebagiannya lagi hanya bertujuan untuk mendapatkan penghasilan dari iklan. Berita yang tersebar di media digital terkadang hanya clickbait semata. Judul atau thumbnail dibuat semenarik mungkin agar menarik minat pembaca, namun ketika dibaca lebih lanjut, isi dari berita tersebut tidak sesuai dengan yang ditampilkan pada halaman depan. Kemungkinan buruk yang dapat terjadi adalah judul yang sekilas tampak menarik tersebut justru menggiring opini publik ke arah yang tidak sesuai. Kemudian, kemungkinan terburuknya adalah ada orang yang hanya membaca judulnya saja lalu membagikan informasi yang didapatkannya tersebut kepada orang lain tanpa membaca keseluruhan isi berita. Ini dapat menjadi titik awal menyebarnya hoaks yang menyesatkan pembaca.
Digitalisasi memang memberikan kemudahan dalam penyebaran informasi, namun masih diperlukan edukasi agar seluruh informasi yang menjadi konsumsi publik merupakan fakta yang dapat dibuktikan kebenarannya. Penulis dan pembaca harus lebih cerdas dalam membuat, memahami, dan membagikan berbagai informasi yang ada agar tidak tersebar hoaks yang merugikan banyak pihak. Selaras dengan artikel pada https://www.djkn.kemenkeu.go.id/ menyebutkan bahwa hoaks bisa menjadi pemicu munculnya keributan, keresahan, perselisihan bahkan ujaran kebencian. Akhir-akhir ini banyak sekali bertebaran berita hoaks dengan memanfaatkan kondisi pandemi Covid-19, misalnya hoaks bahwa meminum alkohol dapat menyembuhkan orang terkena Covid-19.
Melalui halaman web https://aptika.kominfo.go.id/, Kementerian Komunikasi dan Informatika RI memberikan beberapa tips mengatasi hoaks khususnya pada saat pandemi Covid-19. Di antaranya yaitu berhati-hati dengan berita provokatif dan sensasional, kemudian cermati sumber berita, apakah situsnya terpercaya atau tidak, lalu periksa faktanya, apakah beritanya berimbang atau apakah hanya berasal dari satu sumber saja, serta sabar dan kurangi asupan informasi yang meragukan. Kemudian, sebelum membagikan atau memanfaatkan fitur sharing, pastikan untuk mengecek kebenaran berita, memastikan kebermanfaatan berita, dan memastikan apakah berita tersebut penting dan mendesak. Jika belum memenuhi aspek tersebut, maka informasi sebaiknya tidak dibagikan dan cukup berhenti di kita saja.
Penulis : Ni Nyoman Ayu Sintya Dewi
-Kelas Jurnalistik 2022-