Tak terasa lebaran sudah di depan mata. Setelah berpuasa satu bulan penuh akhirnya hari yang ditunggu-tunggu tiba. Aku dan Kakakku yang paling bersemangat menyambut hari lebaran. Bukan hanya karena ketupat dan opor ayam yang sudah menunggu untuk disantap, tetapi juga karena Tunjangan Hari Raya (THR) dari Paman dan Bibi yang sudah siap kuterima dengan tulus ikhlas. Membayangkannya saja sudah membuat senyum yang sangat lebar terukir di wajahku. Rasanya seperti tidak ada hari yang lebih menyenangkan dari hari lebaran.
Hari ini Aku dan keluargaku bersiap-siap untuk pergi ke rumah Nenek untuk merayakan lebaran disana. Ayah dan Ibu sibuk menyiapkan semua barang yang akan kami bawa dan menaruhnya di dalam mobil. Sedangkan Aku sibuk dengan barang bawaanku sendiri. Kakakku Dira, tentu lebih ribet lagi, dengan segala perlengkapan dan kebutuhannya sebagai anak perempuan tidak boleh ada yang tertinggal, satupun. Dengan segala keribetan itu, aku harus menjaga jarak darinya agar tidak terjerumus dengan kerempongan Kakakku.
“Bim, Bimo! Sini deh!” panggil Kakakku dari kamarnya, sambil berteriak.
Aku menghela napas. Kalau sudah begini, aku harus meningkatkan kesabaranku. Aku pun bergegas ke kamarnya.
“Kenapa?” tanyaku tanpa basa-basi.
“Kamu ada lihat lip cream kakak yang warna berry pink?” tanyanya.
“Kakak ada-ada aja pertanyaannya. Ya ga ada lah!” jawabku kesal.
“Ya siapa tau. Kamu kan sering nyuri-nyuri ke kamar kakak.” kata Kak Dira.
“Mana ada begitu. Bimo udah izin kok, kakak aja yang ga dengar.” kataku dan mulai meninggalkan kamar Kak Dira. Lagi pula aku tidak memerlukan yang namanya lip cream. Lip balm saja cukup untukku.
**
Malam ini adalah malam takbiran. Aku dan keluargaku sudah berada di rumah Nenek. Saudara yang lainnya juga sudah semua berkumpul disini. Kebersamaan lebaran tidak selalu hadir setiap hari. Saat-saat berkumpul dengan keluarga besar seperti ini tidak boleh terlewatkan. Akan selalu ada cerita-cerita yang dihiasi canda dan tawa yang dapat memperkuat hubungan kekeluargaan di dalamnya.
Aku pergi ke depan untuk menikmati suasana malam takbiran di rumah Nenek. Terdengar suara takbir yang berkumandang dari masjid dan anak-anak berkumpul menyalakan petasan. Tanpa sadar, aku tersenyum. Bulan ramadhan selalu memiliki tempat tersendiri di hatiku. Meskipun rasa lemah, letih, dan lesu mewarnai hari-hariku selama berpuasa.
“Bimo, kamu dipanggil Kak Dira, nak” panggil Nenek kesayanganku dari belakang.
Aku menoleh ke arahnya. “Iya nek, Bimo kesana sekarang” ucapku sambil berjalan masuk ke dalam rumah.
Tanpa berprasangka buruk, aku menghampiri Kak Dira ke kamarnya. Disana ada Ibu dan Kak Dira tidur bersama Ibu selama di rumah Nenek.
“Ada apa, Kak?” tanyaku pada Kak Dira.
“Ini baju buat lebaran besok. Kakak lupa mesan sewaktu masih di Jakarta. Jadinya kakak dan Ibu beli di toko pakaian dekat sini tadi sore. Cuma ini warna yang tersisa, semoga kamu suka” kata Kak Dira menjelaskan padaku.
Kuambil paperbag yang Kak Dira berikan padaku. Di dalamnya ada baju koko berwarna hijau. Aku terkejut.
“Kenapa hijau lagi sih? Tahun lalu kan kita sudah pakai warna hijau. Aku sudah berkali-kali bilang, nanti baju lebaran jangan hijau lagi ya, mungkin biru” protesku.
“Memang kenapa kalau hijau lagi, nak? Warna kan bukan masalah besar. Bersyukur kita masih bisa beli baju baru untuk lebaran. Dipakai ya, besok” ucap Ibu sambil tersenyum mencoba menenangkan dan membujukku.
Aku masih belum terima. “Tapi, bu..”
“Ya sudah jangan dipakai kalau kamu ga mau, Bim. Gitu aja kok repot” ucap Kak Dira yang semakin membuatku kesal.
“Ya sudah” ucapku ketus.
Aku pergi ke kamarku dengan rasa kesal dan wajah cemberut. Semua mata tertuju padaku saat aku melewati ruang tamu. Dimana semua saudara sedang berkumpul disana. Ayah, Paman, Nenek, semua bertanya ada apa padaku. Tapi Aku tidak menggubrisnya, aku tetap berjalan menuju kamarku.
Aku duduk di ujung tempat tidur. Aku tidak mengerti mengapa bisa sekesal ini hanya karena warna baju lebaran. Padahal, benar yang dikatakan Ibu, masih bisa membeli baju baru untuk lebaran saja sudah syukur. Entahlah, ada apa denganku hari ini. Hati dan pikiran manusia memang susah ditebak.
Ayah tiba-tiba masuk ke kamarku dan membuatku sedikit terkejut. Ia duduk di sebelahku sambil mengelus rambutku dengan pelan.
“Bimo, besok sudah lebaran. Apa kamu yakin masih ingin marah-marahan dengan kakakmu? Kalau kata Ayah, sebaiknya kamu minta maaf. Memangnya kamu mau lebaran diselimuti kegelisahan? Lagi pula masalah baju lebaran itu kan hanya warna Bim, kegunaannya ya sama saja” ceramah Ayah padaku.
Benar kata Ayah. Aku tidak ingin merusak momen lebaran dengan keluargaku. Di hari kemenangan ini aku ingin semuanya damai. Cinta, kasih, dan kepedulian yang boleh menang pada hari yang suci ini.
“Kalau kamu tidak mau minta maaf sekarang, ya sudah, besok saja biar sekalian. Ayah keluar dulu” ucap Ayah sambil keluar dari kamarku.
**
Hari lebaran pun tiba. Aku terbangun dari tidurku. Tadi malam aku tertidur karena kelelahan melamun sendirian di kamar. Untung saja aku tidak kesambet setan. Aku sudah terbangun, tapi tidak beranjak dari tempat tidurku dan masih memikirkan kejadian tadi malam masalah warna baju lebaran. Aku mulai sadar, warna baju lebaran bukan suatu hal yang semestinya dipermasalahkan.
“Bimo, ayo bangun. Cepat mandi, Bim!” perintah Ayah sambil mengetuk pintu kamarku.
“Iya sebentar lagi, yah” jawabku yang seperti biasa saat bangun tidur.
Aku bergegas cepat-cepat mandi. Syukurnya rumah Nenek memiliki lebih dari satu kamar mandi, jadi kami tidak perlu rebutan menggunakan kamar mandi. Setelah mandi, aku segera bersiap. Kupakai baju koko yang Kak Dira berikan padaku kemarin malam. Aku sudah mulai menerima kenyataan bahwa baju lebaranku tahun ini hijau lagi. “Ga masalah hijau, yang penting baru” batinku.
Setelah semua berkumpul diruang tamu, kami akhirnya pergi bersama untuk menjalankan Salat Idul Fitri di masjid terdekat.
Setelah selesai Salat Idul Fitri kami kembali ke rumah Nenek. Kami saling bermaaf-maafan satu sama lain. Hal ini sudah menjadi kebiasaan turun-temurun di keluargaku. Tidak lengkap rasanya apabila lebaran tanpa maaf-maafan, padahal minta maaf dan memaafkan adalah bagian dari kehidupan kita sehari-hari.
“Yang kemarin malam ngambek, ayo minta maaf dulu” ucap Pamanku.
Aku tersenyum malu. Setelah bermaaf-maafan dengan Ayah, Ibu, Nenek dan yang lainnya, Aku menghampiri Kak Dira.
“Kak, maafin kesalahan Bimo ya, terutama tentang masalah kemarin malam. Seharusnya Aku ga protes dan marah tapi, bersyukur karena masih bisa pakai baju baru di lebaran tahun ini” ucapku meminta maaf.
“Kakak minta maaf juga ya, Bim.” kata Kak Dira sambil memelukku, begitu juga aku sebaliknya.
“Sebenarnya Bimo ingin minta maaf kemarin malam tapi Ayah bilang, kalau ingin minta maaf hari ini juga boleh biar sekalian.” Kataku menyengir ke arah Ayah diikuti gelak tawa dari keluarga besarku.
Lega rasanya setelah bermaaf-maafan. Inilah yang Aku harapkan di hari kemenangan ini, perasaan damai dan tenang, tanpa gelisah. Aku yakin, hal yang terjadi pada lebaran tahun ini akan memberikan pelajaran berharga untukku di masa mendatang nanti. Segala hal yang terjadi pada kita pasti ada hikmahnya.
**
Makan bersama adalah saat-saat yang paling ditunggu jika sudah berkaitan dengan lebaran. Aku dan keluargaku duduk di bawah dengan beralaskan karpet dan makan melingkar. Bagaimana tidak, meja makan yang ada di rumah Nenek tentu saja tidak cukup untuk jumlah kami. Mungkin saja akan terjadi perebutan kekuasaan atas kursi apabila tetap ingin makan di meja makan. Lagi pula, makan bersama dengan duduk melingkar seperti ini justru akan menambah suasana kekeluargaan dan kebersamaan kami.
Ketupat, opor ayam, sate, soto, bakso, semua sudah kusantap hari ini. Ini adalah saat yang paling kutunggu-tunggu ketika lebaran tiba. Tidak lupa kue lebaran dengan berbagai macam jenis dan berbagai buah segar yang tertata rapi di atas meja. Bahkan tanganku sendiri sampai bingung, kue mana saja yang sudah dan belum kuambil untuk kucoba rasanya. Setelah itu, tidak kusangka momen yang tidak kalah penting akan datang secepat ini, yap bagi-bagi THR. Aku sebagai anak paling bungsu disini mendapat lebih banyak daripada yang lain, hatiku sangat gembira yang sekaligus menambah kebahagiaanku dihari kemenangan ini.
Penulis: Ni Putu Atik Ekayani
Penyunting: Ni Wayan Diah Okta Wardani